Kesultanan Jambi adalah kerajaan
Islam yang berkedudukan di provinsi
Jambi sekarang. Kerajaan ini berbatasan dengan
Kerajaan Indragiri dan kerajaan-kerajaan
Minangkabau seperti Siguntur dan Lima Kota di utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan dengan
Kesultanan Palembang
(kemudian Keresidenan Palembang). Jambi juga mengendalikan lembah
Kerinci, meskipun pada akhir masa kekuasaannya kekuasaan nominal ini
tidak lagi dipedulikan.
Ibukota Kesultanan Jambi terletak di kota Jambi, yang terletak di pinggir sungai
Batang Hari.
Geografi
Jambi berkembang di wilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di
Sumatera.
Sungai ini, dan anak-anak sungainya, seperti Tembesi, Tabir dan
Merangin, merupakan tulang punggung wilayah tersebut. Sungai Tungkal
yang berbatasan dengan Indragiri memiliki cekungan tangkapan air
sendiri. Sungai-sungai itu merupakan andalan transportasi utama Jambi.
Kependudukan
Penduduk Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan
hanya sebanyak 60.000 jiwa, dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni.
Etnis Melayu berdiam di pinggiran sungai Batang Hari dan Tembesi.
Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan orang-orang
Batin mendiami wilayah Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagi orang
Penghulu, yang menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.
[rujukan?]
Sejarah
Pangeran Ratu Martaningrat menyerah ke Belanda tahun 1903.
Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Malayu, dan kemudian menjadi bagian dari
Sriwijaya. Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan vasal
Majapahit, dan pengaruh
Jawa masih terus mewarnai kesultanan Jambi selama abad ke-17 dan ke-18.
Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di
wilayah itu. Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di
Sumatera setelah Aceh,
[rujukan?] dan pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti
Johor dan
Palembang.
[rujukan?] Namun kejayaan Jambi tidak berumur panjang. Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan sebagai pelabuhan
lada utama, setelah perang dengan Johor dan konflik internal.
Tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan
yang terakhir, menyerah Belanda. Jambi digabungkan dengan keresidenan
Palembang.
Tahun 1906 kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah
Hindia Belanda.
Pemerintahan
Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini
dipilih dari perwakilan empat keluarga bangsawan (suku): suku Kraton,
Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku
tersebut juga memilih
pangeran ratu, yang mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari.
[rujukan?]
Dalam menjalankan pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh para menteri
dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan.
Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.
[rujukan?]
Senarai (silsilah) Sultan Jambi
Berikut adalah daftar Sultan Jambi.
Raden Abdurrahman Dinobat Sebagai Sultan Jambi
Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi kini telah memiliki seorang sultan.
Setelah sekian puluh tahun lamanya, pelestarian Kerajaan Melayu
Kesultanan Jambi sejak wafatnya Sultan Thaha Syaifuddin, saat
penyerangan penjajah Belanda yang dipimpin oleh Leutenant G. Badings ke
tempat terakhir pelarian Sultan Thaha Syaifuddin di Tanah Garo, dan
wafat dalam pertempuran di Desa Betung Bedarah, Kecamatan Muara Tabir,
Kabupaten Tebo pada 1904. Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi hingga awal
tahun 2012 ini, sebagai bagian pelestarian aset sejarah dan budaya
Melayu Nusantara, malahan belum berdiri tegak. Namun kejayaan dan
kemasyuran Kesultanan Jambi di era Sultan Thaha Syaifuddin tempo dulu
bakal terwujud dengan digelarnya prosesi adat agung penobatan penerus
Sultan Thaha Syaifuddin kepada Raden Abdurrachman Bin Raden Djak’far
Kertopati gelar Pangeran Mudo, sebagai Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan
Jambi (pelestarian) yang baru, beserta permaisuri Ratu Mas Siti Aisah
Bin Raden Haji Usman Yasin gelar Ratu Aisah Kusumo Ningrat. Penobatan
yang digelar di Ball Room Hotel Novita pada Minggu, 18 Maret 2012,
dilakukan oleh Bunda Ratu Syarifah Muryani Allatif asal dari Malaysia.
Bunda Ratu mengklaim lahir di Penegak, Sarolangun, dan keturunan dari
Putri Pinang Masak.
Penobatan ini berdasarkan penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Agama Kelas I Jambi Nomor.18/Pdt.P/2008/PA.Jb, tertanggal 19 Mei 2008.
yang diketuai oleh Mahmuddin Rasyid MH, serta dua orang hakim anggota
lainnya, yaitu Muhammad DJ dan Mahmud Fauzi, ditambah seorang panitera
pengganti, Yusran Marpaung.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jambi menetapkan bahwa Raden
Abdurrachman Bin Raden Dja’far Kertopati gelar Pangeran Mudo, adalah
keturunan sah dari garis keturunan Raja Kerajaan Melayu Kesultanan
Jambi, dari garis lurus keturunan Sultan Thaha Syaifuddin Gelar Pangeran
Jayaningrat dengan Permaisuri Ratu Chalijah gelar Ratu Anom Kesumo
Ningrat sebagai Ahli Waris dan Penerima Waris tahta pelestarian Kerajaan
Melayu Kesultanan Jambi sekarang.
Posisi Raden Abdurrachman Bin Raden Dja’far Kertopati gelar Pangeran
Mudo diperkuat lagi berdasarkan dokumen ‘Surat Wasiat’ milik ayah
kandung Raden Iskandar HK gelar Pangeran Prabu yaitu Raden Hasan Basri
Bin Raden Inu Kertopati Bin Sultan Thaha Syaifuddin pada 1989. Yakni
satu tahun, sebelum Raden Hasan Basri wafat pada 1990 lalu,
Surat wasiat tersebut menyatakan bahwa apabila kelak seluruh keluarga
besar dan keturunan Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, yaitu
Sultan Thaha Syaifuddin, yang juga telah ditetapkan oleh pemerintah RI
sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI
Nomor.079/TK/1977 ini, serta segenap unsur pemerintah daerah Provinsi
Jambi di dalam memutuskan dan menentukan sikap, siapa yang berhak
sebagai ahli waris dan penerima waris tahta Kerajaan Melayu Kesultanan
Jambi sebagai Sultan Jambi, untuk meneruskan tongkat estafet kesultanan
maupun Sultan Jambi Pelestarian, yaitu Raden Abdurrachman bin Raden
Ja’far Kertopati gelar Pangeran Mudo.
Riwayat sosok Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi pelestarian
ini, yakni Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin, dia adalah putra
mahkota dari Raden Dja’far Kertopati Bin Raden Inu Kertopati, dan ibunya
bernama Ratu Mas Maimunah gelar Ratu Kecik Binti RA. Rahman gelar
Pangeran Ratu Martoningrat Bin Sultan Thaha Syaifuddin.
Secara langsung mempunyai anak tunggal selaku pewaris tahta sekaligus
putra mahkota Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, yaitu Raden
Abdurrachman alias Raden Guntur bergelar Pangeran Mudo.
Sultan Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi, Sultan Abdurrachman Thaha
Syaifuddin yang lahir di salah satu kamar bagian tengah Rumah Dinas
Residen Jambi yang pertama (sekarang Rumah Dinas Gubernur Jambi), Raden
Inu Kertopati di Tanah Putih, Kecamatan Pasar, Kota Jambi sekarang, pada
Jum’at, 16 Juni 1950.
Menanamatkan pendidikan terakhirnya di SMA Negeri 1 Kota Jambi dan
bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dilingkungan Kantor Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Jambi hingga diai pensiun
pada 2006.
Dari pernikahan dirinya dengan Ratu Mas Siti Aisyah gelar Ratu Aisyah
Kesumo Ningrat, dikaruniai dua orang putra dan seorang putri,
masing-masing yaitu Raden Rano Dwi Anggoro gelar Pangeran Ratu sebagai
pewaris tahta sekaligus putra mahkota Kerajaan Melayu Kesultanan Jambi
pelestarian, Raden Wawan Pitrah Nugraha dan Ratu Mas Nora Fitria Ulfah.
Gelar kesultanan yang melekat pada dirinya, yaitu Pangeran Mudo dan
Ratu Ngurah Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin. Gelar Ratu Ngurah
tersebut merupakan gelar kekerabatan yang diperolehnya dari Raja Bali,
DR. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra
Suyasa III ketika acara peresmian Museum Soekarno pada 11 November 2011
di Tampak Siring, Gianyar, Bali.
Disamping itu, dirinya juga terlibat aktif di beberapa organisasi
sultan dan raja se-Nusantara, seperti anggota AKKI (Asosiasi Kerajaan
Kesultanan Indonesia), dan anggota Yayasan Raja Sultan Nusantara
(YARASUTRA).
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Jambi